Kesederhanaan seorang anak Suku Baduy Dalam |
Kearifan Lokal Para Baduy Dalam
(Catatan Perjalan ke Baduy Dalam 12 Oktober 2014)
Di tengah hiruk pikuknya Jakarta dan sebagai
seorang yang tidak hobby ke mall dan sejenisnya, Jakarta getaway merupakan
pilihan untuk sejenak menarik diri dari bisingnya ibukota. Destinasi yang
ditempuh hanya dengan beberapa jam perjalanan dari Jakarta dengan budget minim
menjadi pilihan yang pas. Yupe, cukup mengikuti trip di travelicous.co.id
rame-rame ke Baduy Dalam, Banten, Jawa Barat.
Rasa penasaran dan keinginan untuk
mengeksplorasi Jawa Barat membawaku ke Baduy Dalam. Suku Baduy Dalam merupakan
salah satu suku yang mempertahankan adat mereka turun temurun dengan sangat
kuat dan tidak mengadopsi budaya luar. Bahkan sekalipun hanya berjarak beberapa
jam dari ibukota negara, Baduy Dalam hingga saat ini tetap mempertahankan
keasliannya. Pernah melihat tayangan di TV tentang Suku Baduy serta mencari
informasi di internet semakin menguatkan niatku untuk bisa bertemu langsung
dengan mereka. Selama masih berada di Jakarta pikirku adalah waktu yang tepat.
Hal ini tidak kusia-siakan.
Kami berangkat
pukul 08.05 pagi dari Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat menuju Stasiun
Rangkasbitung, Banten. Perjalanan ditempuh selama hampir 2 jam lalu dilanjutkan
dengan angkutan umum menuju Desa Ciboleger. Sekitar pkl. 12.15 kami tiba di
Desa Ciboleger tepatnya di terminal Ciboleger yang merupakan akses paling ujung
yang dapat ditempuh dengan berkendaraan sekaligus menjadi pintu masuk untuk
trekking menuju ke Baduy.
Setelah makan siang
dan istirahat sejenak, the adventure is
truly begin. Peta di warung tempat kami makan siang menunjukkan jarak
trekking yang akan ditempuh ke Baduy Dalam adalah sekitar 12 KM dan menurut
panitia jarak ini ditempuh dalam waktu 4 – 6 jam. Perjalanan yang akan dilalui cukup
panjang dengan medan melewati bukit-bukit (tanjakan dan turunan) sehingga akan cukup
melelahkan. Butuh stamina dan persiapan yang cukup. Gunakan pakaian yang
nyaman, menyerap keringat dan terutama alas kaki yang paling nyaman untuk
berjalan jauh. Sunblock lotion otomatis harus disiapkan, sunblock mumpuni
seperti jacket dan topi (aku memilih topi golf supaya dapat melindungi seluruh
wajah dan leher) juga wajib jika tidak ingin menyesal berbulan-bulan menanti
kulit kembali ke warna asal. Beberapa botol air mineral dan obat-obatan pribadi
termasuk koyo jangan sampai terlewatkan J
Rute Trekking dari Ciboleger ke Baduy Dalam |
Anak-anak usia SD
menawarkan tongkat kayu seharga Rp. 3000 sebagai salah satu senjata untuk
menaklukkan trekking kali ini. Saran saya belilah :p Selain itu, karena barang
bawaan cukup berat untuk digantung di punggung selama perjalanan jauh – apalagi
untuk cewek, ada porter sekaligus guide yang merupakan orang asli Baduy Dalam
yang siap membawa barang bawaan dengan tarif Rp. 30.000,- dan diantar hingga ke
rumah tempat menginap.
Rute perjalanan
kami dibuka dengan tanjakan dengan pepohonan rindang. Berharap bahwa rute yang
akan dilalui akan terus rindang dan segar seperti ini. Walau kenyataannya
memang lebih banyak berada dibawah terik matahari. Melihat para Baduy yang tak
terlihat lelah walaupun membawa barang yang cukup banyak dan berat serta tanpa
alas kaki, menambah semangatku walau keringat deras mengucur dan jalan terus
menanjak naik. Ngobrol dengan para Baduy, menikmati semilir angin, menikmati
suasana pegunungan, menikmati suara burung, suara dedaunan dan pepohonan,
gemericik aliran sungai, melewati perkampungan demi perkampungan Baduy Luar,
bersenda gurau dengan sesama pengunjung Baduy walau tidak saling kenal menjadi
highlight perjalananku kali ini.
18 kali ke Jakarta
Obrolanku yang
paling menarik adalah dengan seorang Baduy Dalam yang berusia 21 tahun. Namanya
Saman, sayangnya aku lupa berfoto dengannya. Aku bertanya beberapa hal dan dia menjawab dengan sangat comprehensive. Mengesankan. Apakah orang
Baduy boleh pergi keluar dari area sini? Bisa, tapi ya gitu. Gitu gimana? Kami
boleh pergi kemana saja tetapi tidak boleh naik kendaraan dan tidak boleh
memakai alas kaki. Kalau Baduy Luar mereka boleh naik kendaraan tetapi kalau
Baduy Dalam, kami tidak boleh. Tapi aku sudah 18 kali ke Jakarta, aku ke Mall
Taman Anggrek, pernah ke Citra Land, Sarinah, Ancol dan nonton di Bioskop.
Saman menyebut beberapa nama tempat lainnya namun aku tidak mengingat semuanya
– sepertinya akupun belum pernah kesana jadi tidak ingat J Dengan
menempuh perjalanan selama 1,5 hari, Saman bersama 4 – 5 temannya tiba di
Bintaro. Biasanya mereka menghabiskan waktu lebih dari 10 hari untuk
mengeksplore Jakarta dan kembali lagi ke asal mereka. Dengan mengandalkan
network dari orang-orang yang pernah berkunjung ke Baduy Dalam, Saman dan
teman-teman memiliki kenalan yang siap menjadi rumah singgah bagi mereka selama
berada di Jakarta. Selain itu, ada Kang Emmy, suku Baduy Luar yang rumahnya tak
jauh dari terminal Ciboleger yang menurut Saman sangat baik dan suka menolong.
Tiap kali akan ke Jakarta, Saman bisa meminjam handphone Kang Emmy untuk
menghubungi kenalan baiknya di Jakarta dan mengabarkan akan kesana. Suku Baduy
Dalam boleh menggunakan handphone (dan teknologi lainnya) hanya saja tidak
boleh memiliki.
Ketika masuk ke mall dengan pakaian seperti ini (baju
putih, bawahan hitam, ikat kepala) dan tanpa alas kaki, pastinya diliatin
orang. Dianggap aneh kali, tapi kami cuek aja. Waktu nonton di bioskop, saya
hampir keluar karena terasa aneh, suara-suaranya kencang sekali, dan gelap.
Tapi lama-lama asyik juga. Waktu itu saya nonton film asing gitu deh, kata
Saman sambil terkekeh. Dari percakapan tentang nonton
film, Saman lanjut bertanya beberapa kata dalam Bahasa Inggris. Kalau “Thank you, you are the best” apa
artinya? Ada beberapa pertanyaan lainnya dan dalam waktu singkat aku bisa
menyimpulkan jika Saman memahami basic
conversation Bahasa Inggris dengan sangat baik. Tahu bagaimana
berkomunikasi misalnya menanyakan nama, tempat tinggal, asal negara, usia,
angka/harga/tawar menawar. Oiya, Saman tahu berbahasa Indonesia sejak usia 15
tahun dengan belajar dari interaksi dengan orang-orang yang mengunjungi Baduy
Dalam. Jika sekarang dia dapat berkomunikasi dalam Bahasa Inggris, hal ini
sangat membanggakan. Dia pun mempelajari semuanya secara otodidak dan
bergantung pada interaksi dengan para pengunjung. Lebih luar biasanya lagi Suku
Baduy Dalam seperti Saman - melek huruf, dapat membaca dan menulis sekalipun
tidak pernah bersekolah karena memang secara adat, bersekolah tidak
diperbolehkan.
Saya ingin sekali bersekolah, pengen dan pengeeeennnn
banget bersekolah. Saman mengekspresikan harapan besar
dia untuk bisa bersekolah. Tetapi dari
orang tua tidak boleh, tidak boleh bersekolah. Kami hanya belajar pertanian
saja di ladang. Jadi saya belajar dengan tanya-tanya dari pengunjung yang
kesini. Saya belajarnya dengan seperti ini, katanya girang. Saat itu aku
berharap membawa sebuah buku yang bisa aku berikan ke Saman untuk mendorong dia
terus belajar.
Obrolanku dengan
Saman dan sesekali dengan temannya juga membuat aku lebih mengenal Suku Baduy
Dalam. Beberapa stereotype yang dulu pernah ada di kepalaku tentang suku ini
bahkan tidak ada satu pun yang terlintas ketika berada di tengah-tengah mereka
bahkan baru menyadari hal tersebut pada saat menuliskan cerita ini. Ngobrol
dengan mereka seperti ngobrol dengan teman lama dan bertukar informasi tentang
lingkungan di kampung halaman masing-masing, tidak ada kesenjangan misalnya aku
sebagai orang yang melek modernisasi sementara mereka tidak karena tidak
mengadopsi budaya luar. Mereka orang yang easy
going, tanpa beban dan terlihat sekali menikmati hidup.
Berbicara dengan alam
Kubiarkan diriku
berjalan terus, rileks, menikmati semilir angin berhembus, menikmati suasana
pegunungan, menikmati suara burung, suara dedaunan dan pepohonan serta
gemericik aliran sungai, serta menyerap segala energi positif dari alam ini.
Sudah lama tidak mendengar desis suara pepohonan ketika dedauan bergesek
tertiup angin. Sudah lama tidak menikmati udara segar tanpa polusi. Sudah lama
tidak menikmati gemericik air mengalir dengan tenang, tidak begitu deras,
sehingga terdengar begitu syahdu. Menyatu dengan kicau burung dan rindangnya
pepohonan yang menyajikan oksigen berlimpah begitu segar merasuk paru-paru.
Indahnya ketika hanya mendengar suara alam. Tidak ada suara lain. Tidak juga
kebisingan.
Pemandangan dari salah satu puncak bukit yang kami lewati |
Aku berjalan pelan,
menikmati suasana alam, menghirup udara sebanyak-banyaknya sembari menaikkan
ucapan syukurku. Sesungguhnya alam menyediakan yang terbaik untuk umat manusia.
Semua yang terbaik dan lagipula, pada hakekatnya gratis.
Berjalan di tempat
rindang dan dekat dengan aliran sungai menandakan bahwa perjalanan sedang
berada di lembah, turunan segera berakhir untuk menuju pendakian berikutnya. Ini
saatnya membuat badan rileks, menghirup udara sebanyak-banyaknya, menikmati
suasana alam, memastikan baterai yang terpasang somewhere in my body terisi penuh sehingga siap menuju tanjakan
lagi.
Memasuki Baduy Dalam
Aku tidak begitu
memperhatikan jam tanganku dan tidak begitu memperhatikan seberapa jauh kami
telah berjalan. Yang pasti matahari tak lagi begitu terik dan kami tiba di sebuah
jembatan tepatnya jembatan gantung terakhir untuk menuju ke Baduy Dalam. Kami
telah melewati setidaknya 2 atau 3 jembatan gantung yang cukup panjang
sebelumnya. Jembatan gantung kali ini sekalipun bukan yang terpanjang dibanding
jembatan sebelumnya, namun terlihat begitu shaky
ketika dilalui sehingga rombongan trip harus antri melaluinya. Berpikir out of the box, aku tidak ingin berdiri
berlama-lama untuk antri, apalagi harus shaky
diatas jembatan. Lebih menarik rasanya menikmati segarnya air pengunungan
ditelapak kakiku dan merasakan dinginnya membasuh wajahku. Tanpa berpikir
ulang, aku melepaskan sepatuku, memasukkan dalam tas ransel dan menikmati
aliran sungai yang begitu jernih. Tidak ada sampah baik yang organik ataupun
anorganik. Wah benar-benar pit stop yang asyik.
Begitu melewati
jembatan ini, sebut saja jembatan cinta, maka kami officially berada di daerah Baduy Dalam. Dengan demikian aktifitas
berfoto ataupun menggunakan handphone tidak lagi diperbolehkan. Para Baduy
Dalam kembali menegaskan bahwa kita sudah memasuki Baduy Dalam dan tidak boleh
lagi foto-foto. Berpikir untuk all out
dalam trekking kali ini, aku tidak mengenakan sepatu-ku kembali. Ingin
merasakan menjadi orang Baduy, walau hanya sebentar saja, hanya berjalan kaki
beberapa KM lagi, tanpa alas kaki J.
Shaky Bamboo Bridge yang memisahkan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Aku memutuskan untuk menyeberang di dasar sungai menikmati dingin, segar dan beningnya air pegunungan. |
Selepas dari -
sebut saja - Jembatan Cinta, tanjakan Cinta menanti kami. Iya, namanya
benar-benar Tanjakan Cinta karena orang Baduy sendiri yang memberitahukannya kepada
kami. Entah kenapa dan entah siapa yang memberikan nama tersebut. Namun yang
pasti, tanjakannya memang mungkin bisa jadi membuat benih cinta bersemi saking
terjalnya. Bersama sesama pengunjung kami bertukar pemikiran-pemikiran konyol
dan candaan ada apa di balik nama Tanjakan Cinta tersebut. Tak terasa tanjakan
tersebut berhasil kami taklukkan tentu saja dengan pause sejenak ditengah-tengah tanjakan merasakan denyut jantung
yang rasa-rasanya mau copot.
Walau masih cukup
jauh, aku konsisten dengan sikapku untuk walk
out (baca: all out) tanpa alas
kaki. Kami melewati lumbung-lumbung padi yang menandakan bahwa perkampungan tak
lagi begitu jauh. Medan yang mulai menurun dan sedikit mendatar menjadikannya
dengan cepat dan enteng untuk bisa kami lalui. Begitu menuruni lembah dengan
jalan setapak berbatu-batu semakin menegaskan bahwa perkampungan yang kami tuju
tidak jauh lagi. Benar saja, sesaat kemudian atap rumah penduduk mulai nampak
dan semakin kami turun terlihat beberapa teman sudah tiba disana. Kami menyeberangi
sungai kecil dengan jembatan bambu dan tibalah kami di halaman rumah. Aku
melirik jam tanganku, Pkl. 17.30. Wah, di etape kali ini termasuk golongan yang
cepat nyampe juga, yakni 4 jam perjalanan J
The most comfortable and relaxing bath-up ever
Setelah menemui
Tuan Rumah tempat kami akan menginap, tanpa membuang waktu lama karena malam segera
menyapa, tidak ada listrik dan lagipula aku tidak membawa senter, kami segera
menuju sungai untuk bersih-bersih. Di Baduy Dalam segala jenis sabun-sabunan,
pasta gigi, dll tidak diperbolehkan. Local
wisdom yang baik karena ini semua dapat merusak air sungai dan menjadi
sumber sampah – bungkus sabun, dll. Sebagai gantinya, orang Baduy memiliki daun
khusus yang digunakan untuk mencuci baju. Jadilah akupun tidak memakai sabun,
shampo maupun pasta gigi. Hanya sikatan saja tanpa pasta gigi. Area sungai di
pemukiman sudah dibagi menjadi beberapa bagian untuk tempat mandi cowok, cewek,
tempat mencuci, mengambil air untuk minum dan tempat untuk BAB.
Foto salah satu aliran sungai, diambil di wilayah Baduy Luar (pengambilan gambar dan penggunakaan alat elektronik tidak diperbolehkan di wilayah Baduy Dalam) |
Melihat air sungai
yang begitu jernih dan alami sepanjang perjalanan tadi membuatku tidak ingin
melewatkan untuk merasakan mandi di sungai. Yippiee... Once in a lifetime. Inilah pertama kalinya aku mandi di sungai yang
benar-benar bisa masuk ke Sungai karena airnya jernih dan berendam didalamnya.
Setelah puas membersihkan badan, rambut dan gigi, aku menjadikan batu bantalku
lalu berbaring di dasar sungai dan merasakan aliran air di sekucur tubuhku yang
begitu segar menenangkan. Semua rasa capek, panas dan keringat selama
perjalanan 4 jam trekking tadi sirna dan hanya ada kesegaran. Bebatuan kecil di
dasar sungai seperti massage electric
yang tahu bagian-bagian mana yang perlu dipijat agar otot-otot kembali rileks.
Terlihat beberapa rombongan trip di pinggiran sungai mencuci muka dan sikatan
dan berkomentar betapa asyiknya bisa mandi dan tiduran seperti di bath-up
seperti yang kulakukan.
Ah betapa indah dan
nyamannya berada disini sehingga rasanya tidak ingin beranjak dari sana.
Sekalipun malam telah menjelang namun suasana yang segar – tidak terlalu dingin
sehingga tidak membuatmu menggigil – terasa sangat perfecto, temperatur yang sangat pas sehingga walaupun berendam
dalam air yang dingin yang terasa hanya kesegaran. Aliran air yang segar tepat
dibawah pepohonan, suasana hati dan pikiran yang riang dan rileks. Benar-benar heaven on earth. Tuhan menyediakan yang
terbaik, gratis, tis dan orang Baduy menikmatinya seumur hidup mereka.
Kehidupan semacam ini yang sudah lama ditinggalkan oleh kaum hedonis. Ah bahkan
tidak perlu terlintas akan pemikiran tentang kaum hedonis itu, cukup menikmati
apa yang disediakan alam saja, saat ini ketika aku bisa menikmatinya.
Aku membalikkan
badanku dan menikmati aliran air sungai tepat diatas punggungku. Membiarkan
rambutku terurai dan seolah – olah terbawa oleh aliran sungai. Hidup ini terasa
begitu ringan. Sesekali aku mendongakkan kepalaku memastikan bahwa masih banyak
orang di sungai sehingga bisa menikmati alirannya lebih lama lagi. Ketika satu
per satu orang kembali ke rumah dan hari semakin gelap, aku mulai beranjak,
melepaskan sarung pantai yang aku gunakan dan menggantinya dengan baju tidur.
Inilah kegiatan mandi dan relaxing yang paling berkesan dan paling nyaman
menyegarkan. Belum pernah mendapatkan pelayanan semacam ini di salon manapun J
The precious local wisdoms
Tinggal di rumah
penduduk merupakan pengalaman yang sangat berharga. Tuan rumah kami bernama
Bapak Aldi, dia memiliki 5 orang anak, sebagian di ladang bersama neneknya dan
ada 2 orang yang masih kecil tinggal bersama dengan dia dan istrinya. Bapak
Aldi cukup komunikatif terlihat sekali jika sudah sering berinteraksi dengan
orang luar namun demikian istrinya sangat pendiam. Sepertinya bukan hanya
istrinya saja namun rata-rata wanita Baduy yang aku jumpai. Mungkin karena
wanita jarang bersinggungan dengan orang luar dalam waktu yang lama misalnya
dengan menemani berjalan kaki dari Ciboleger hingga Baduy Dalam sehingga tidak
memiliki banyak kesempatan untuk bisa belajar bahasa Indonesia. Sekilas yang
nampak adalah kendala bahasa sehingga tampak sangat pendiam dan menarik diri.
Walau hanya 2 hari
bersama para Baduy Dalam, namun banyak kearifan lokal yang aku pelajari. Dari
dapur keluarga, perkampungan hingga ke lahan pertanian. Kehidupan orang Baduy
Dalam yang konsisten hidup hanya dengan sesama dan alam, mengajariku banyak
hal. Di mataku mereka merupakan sebuah suku yang berpikiran maju namun tidak
mengubah gaya hidup mereka. Tetap seperti sedia kala bersahabat dengan alam dan
sesama. Mereka sangat bergantung kepada alam dan oleh karena itu menjaganya
sedemikan rupa.
Beberapa hal yang
mengesankan buatku adalah hubungan yang erat dalam sebuah keluarga. Ibu
bertanggung jawab sepenuhnya akan urusan di dapur sementara ayah bertanggung
jawab mencari penghidupan keluarga. Sama seperti keluarga pada umumnya. Selain
itu, keluarga Baduy Dalam memiliki waktu yang khusus bersama keluarga pada saat
makan. Ayah, Ibu dan anak-anak akan duduk dan berkumpul bersama-sama untuk
menikmati makan. Mereka mengenal hal ini dengan istilah “riung.” Betapa
berharganya menghabiskan waktu bersama keluarga di saat makan bersama alias nge-riung. Anak-anak menantikan saat nge-riung begitu juga orang tua, ayah
dan ibu, tidak melewatkan moment nge-riung
bersama seluruh anggota keluarga.
Interior rumah
Baduy Dalam hanya terdiri dari 2 ruangan. Satu ruangan yang merupakan ¼ bagian
dari rumah difungsikan sebagai dapur sekaligus tempat tidur utama. Satu ruangan
lagi yang merupakan ¾ bagian ruangan lainnya digunakan sebagai ruangan
serbaguna, sebagai ruang tamu, ruang keluarga, dll. Apabila salah satu anak
telah menikah dan tinggal bersama orang tua maka akan dibuatkan sebuah dapur
lagi dalam rumah tersebut. Sehingga 1 rumah bisa memiliki 2 dapur. Dapur orang
tua terpisah dari dapur anak. Hal yang sangat mengesankan mengingat dapur
merupakan salah satu sumber konflik dalam suatu keluarga. Apalagi dalam kondisi
sudah mentas, anak belajar mandiri dan
memiliki kehidupannya sendiri.
Suku Baduy Dalam
tidak memiliki pantangan makan kecuali daging kambing. Tidak ada alasan yang
begitu jelas yang bisa kudapatkan mengapa mereka tidak boleh makan kambing.
Yang jelas pantangan makan daging kambing merupakan warisan dari nenek moyang
yang terus mereka jaga. Sehari-hari mereka mengkonsumsi nasi, sayuran dan lauk
seperti ikan asin yang biasanya dibeli di pasar. Dalam setahun, para Baduy
Dalam akan ditutup selama 3 bulan karena para pria Baduy berburu ke hutan. Selama 3 bulan tersebut mereka akan
berburu babi hutan yang biasanya digunakan untuk pesta adat. Selama periode inilah, Baduy Dalam ditutup
untuk kunjungan dari pihak luar seperti para wisatawan.
Rumah Baduy Dalam tidak jauh berbeda dengan Baduy Luar |
Di luar rumah,
lingkungan perkampungan Baduy Dalam tergolong sangat bersih. Tidak ada sampah
yang berserakan di sekitar pemukiman. Well,
ada sih sedikit di belakang kampung yang menurutku sampah-sampah plastik para
pengunjung seperti kami-kami yang membawa bekal-bekal makanan kemasan (bungkus
snack, makanan, dll). Tong sampah terbuat dari anyaman tradisional terletak di
depan rumah sehingga tidak ada yang berserakan. Aktifitas MCK semua dilakukan
di sungai termasuk mencuci peralatan dapur sehingga kondisi rumah sangat bersih
dan higienis, tidak lembab, tidak bau, bahkan tidak ada lalat ataupun nyamuk.
Beranjak dari
perkampungan Baduy ke lahan pertanian, pertanian Baduy Dalam tergolong cukup
maju. Mereka menanam padi gogos di lahan yang memang hanya memungkinkan mereka untuk
menanam padi di lahan kering. Selain itu, mereka menanam kacang-kacangan,
jagung, sayuran dan pisang. Persediaan makanan Baduy disimpan dalam jejeran
lumbung-lumbung yang terletak di luar perkampungan dan tak jauh dari ladang.
Hal ini memperlihatkan manajemen persediaan makanan sekaligus ketahanan pangan
yang dianut oleh orang Baduy.
Lahan pertanian yang sedang digarap |
Di awal perjalanan
ketika menuju perkampungan Baduy Luar dari terminal Ciboleger, terlihat
beberapa bagian bukit yang digunduli untuk bercocok tanam. Pada awalnya aku
sempat bergumam dalam hati, ini merusak alam dan membahayakan diri mereka
sendiri. Jika 5 atau 6 tahun aku kesini lagi kemungkinan besar sudah tidak
dapat melalui rute ini karena pasti sudah longsor. Tetapi semakin jauh berjalan
maka yang terlihat hanyalah bukit dan bukit dan bukit. Tidak ada lembah yang
cukup luas dan landai untuk bercocok tanam. Sungai-sungai diapit oleh dua
pebukitan di sisi kiri dan kanannya. Suku Baduy baik Baduy Dalam dan Baduy Luar
tidak memiliki sawah. Ya tidak ada sawah disana yang ada adalah huma/ladang
untuk bertanam padi gogos. Aku tidak tahu teknik bertani seperti apa yang bisa
diterapkan di area dengan topografi yang hilly
semacam ini. Dan apabila mereka sudah bercocok tanam seperti ini sejak mereka
ada maka rasanya mustahil juga jika tidak ada longsor. Namun menurut pengakuan
salah satu Baduy Dalam, tidak terjadi longsor di daerah mereka. Hm, perlu
ditelisik lebih jauh.
Kearifan lokal
Baduy lainnya yang membuatku sangat terkesan adalah One men for one woman, vice versa and no divorce. Baduy Dalam tidak
menganut poligami ataupun poliandri. Seorang laki-laki hanya boleh menikahi
seorang wanita, begitu juga sebaliknya. Selain itu, perceraian tidak
diperbolehkan kecuali karena kematian. Wah, seperti ajaran JC ya J
Lumbung-lumbung yang senantiasa terisi penuh |
Para Baduy Dalam di
mataku adalah suku yang sangat cerdas baik anak-anak ataupun orang tua mereka.
Mereka bisa membaca dan menulis hanya dengan belajar otodidak. Pikiran mereka
terbuka untuk maju bahkan kehidupan mereka sangat maju dan bersahabat dengan
alam. Anak-anak mereka yang berusia balita dan batita pun terlihat sehat, tidak
kurus ataupun kelihatan kurang gizi. Oiya, para Baduy berkulit putih bersih terutama
anak-anak. Bahkan ada yang benar-benar seperti bule, rambut pirang dan kulit
pink merona. Sumber makanan mereka terjaga dan sistem ketahanan pangan mereka mumpuni
dengan jejeran lumbung-lumbung yang terisi penuh. Selain itu, suku Baduy juga
merupakan salah satu penghasil madu hutan dengan kualitas yang terbaik.
My Wish
Harapanku agar suku
ini tetap bertahan dalam keaslian mereka tanpa mengadopsi budaya lain. Terus
mempertahankan kearifan lokal mereka yang menurut pendapatku kearifan lokal
yang murni dan pantas untuk terus dipertahankan kemurniannya. Kekuatiranku
dengan semakin banyaknya wisatawan yang mengunjungi para Baduy setiap minggunya
adalah mereka semakin mengenal dan mulai mencintai uang. Mereka semakin
mengetahui bahwa mereka bisa mendapatkan apa saja dengan uang lalu mulai
mengkomersialkan segala sesuatu dan perlahan tapi pasti meninggalkan budaya
asli mereka. Aku kuatir budaya hedonis dan matrealistis perlahan mulai
mengkontaminasi kehidupan para Baduy. Semoga saja tidak.
Closing
Waktu dua hari
tidak akan cukup untuk mengulik banyak tentang Suku Baduy Dalam, tapi aku
merasa sangat beruntung bisa mengunjungi, berinteraksi dan berada ditengah-tengah
suku yang sangat berharga ini sekalipun hanya 2 hari. Kesimpulan akhirku, Baduy
Dalam bukanlah suku terasing, bukan pula suku yang kolot atau ketinggalan
jaman, mereka adalah kelompok suku sama seperti halnya suku-suku lain di
Indonesia seperti Jawa, Sunda, Menado, Toraja, Batak, dll (yang ga disebut
jangan marah :). Tidak ada ritual khusus yang begitu mengikat dan harus mereka
lakukan setiap harinya. Mereka terbuka terhadap orang luar dan sangat
bersahaja. Di setiap perkampungan terdapat kepala suku dan juga lurah dan
kepala RT. Mereka sama seperti kita setiap hari bangun pagi dan mengusahakan
kehidupan mereka mencari nafkah. Ke ladang pada hari kerja dan sebagai guide
lokal/tuan rumah dan menyewakan rumah mereka untuk home stay pengunjung pada akhir pekan. Mereka mengetahui dunia luar
hanya saja tetap kuat terhadap prinsip dan pendirian mereka untuk memiliki gaya
hidup turun temurun seperti nenek moyang mereka, Adam dan Hawa.