Thursday, June 30, 2016

Kearifan Lokal Para Baduy Dalam

Kesederhanaan seorang anak Suku Baduy Dalam

 Kearifan Lokal Para Baduy Dalam

(Catatan Perjalan ke Baduy Dalam 12 Oktober 2014)

Di tengah hiruk pikuknya Jakarta dan sebagai seorang yang tidak hobby ke mall dan sejenisnya, Jakarta getaway merupakan pilihan untuk sejenak menarik diri dari bisingnya ibukota. Destinasi yang ditempuh hanya dengan beberapa jam perjalanan dari Jakarta dengan budget minim menjadi pilihan yang pas. Yupe, cukup mengikuti trip di travelicous.co.id rame-rame ke Baduy Dalam, Banten, Jawa Barat.

Rasa penasaran dan keinginan untuk mengeksplorasi Jawa Barat membawaku ke Baduy Dalam. Suku Baduy Dalam merupakan salah satu suku yang mempertahankan adat mereka turun temurun dengan sangat kuat dan tidak mengadopsi budaya luar. Bahkan sekalipun hanya berjarak beberapa jam dari ibukota negara, Baduy Dalam hingga saat ini tetap mempertahankan keasliannya. Pernah melihat tayangan di TV tentang Suku Baduy serta mencari informasi di internet semakin menguatkan niatku untuk bisa bertemu langsung dengan mereka. Selama masih berada di Jakarta pikirku adalah waktu yang tepat. Hal ini tidak kusia-siakan.
Kami berangkat pukul 08.05 pagi dari Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat menuju Stasiun Rangkasbitung, Banten. Perjalanan ditempuh selama hampir 2 jam lalu dilanjutkan dengan angkutan umum menuju Desa Ciboleger. Sekitar pkl. 12.15 kami tiba di Desa Ciboleger tepatnya di terminal Ciboleger yang merupakan akses paling ujung yang dapat ditempuh dengan berkendaraan sekaligus menjadi pintu masuk untuk trekking menuju ke Baduy.

Setelah makan siang dan istirahat sejenak, the adventure is truly begin. Peta di warung tempat kami makan siang menunjukkan jarak trekking yang akan ditempuh ke Baduy Dalam adalah sekitar 12 KM dan menurut panitia jarak ini ditempuh dalam waktu 4 – 6 jam. Perjalanan yang akan dilalui cukup panjang dengan medan melewati bukit-bukit (tanjakan dan turunan) sehingga akan cukup melelahkan. Butuh stamina dan persiapan yang cukup. Gunakan pakaian yang nyaman, menyerap keringat dan terutama alas kaki yang paling nyaman untuk berjalan jauh. Sunblock lotion otomatis harus disiapkan, sunblock mumpuni seperti jacket dan topi (aku memilih topi golf supaya dapat melindungi seluruh wajah dan leher) juga wajib jika tidak ingin menyesal berbulan-bulan menanti kulit kembali ke warna asal. Beberapa botol air mineral dan obat-obatan pribadi termasuk koyo jangan sampai terlewatkan J

Rute Trekking dari Ciboleger ke Baduy Dalam
Anak-anak usia SD menawarkan tongkat kayu seharga Rp. 3000 sebagai salah satu senjata untuk menaklukkan trekking kali ini. Saran saya belilah :p Selain itu, karena barang bawaan cukup berat untuk digantung di punggung selama perjalanan jauh – apalagi untuk cewek, ada porter sekaligus guide yang merupakan orang asli Baduy Dalam yang siap membawa barang bawaan dengan tarif Rp. 30.000,- dan diantar hingga ke rumah tempat menginap.


Rute perjalanan kami dibuka dengan tanjakan dengan pepohonan rindang. Berharap bahwa rute yang akan dilalui akan terus rindang dan segar seperti ini. Walau kenyataannya memang lebih banyak berada dibawah terik matahari. Melihat para Baduy yang tak terlihat lelah walaupun membawa barang yang cukup banyak dan berat serta tanpa alas kaki, menambah semangatku walau keringat deras mengucur dan jalan terus menanjak naik. Ngobrol dengan para Baduy, menikmati semilir angin, menikmati suasana pegunungan, menikmati suara burung, suara dedaunan dan pepohonan, gemericik aliran sungai, melewati perkampungan demi perkampungan Baduy Luar, bersenda gurau dengan sesama pengunjung Baduy walau tidak saling kenal menjadi highlight perjalananku kali ini.

18 kali ke Jakarta

Obrolanku yang paling menarik adalah dengan seorang Baduy Dalam yang berusia 21 tahun. Namanya Saman, sayangnya aku lupa berfoto dengannya. Aku bertanya beberapa hal dan dia menjawab dengan sangat comprehensive. Mengesankan. Apakah orang Baduy boleh pergi keluar dari area sini? Bisa, tapi ya gitu. Gitu gimana? Kami boleh pergi kemana saja tetapi tidak boleh naik kendaraan dan tidak boleh memakai alas kaki. Kalau Baduy Luar mereka boleh naik kendaraan tetapi kalau Baduy Dalam, kami tidak boleh. Tapi aku sudah 18 kali ke Jakarta, aku ke Mall Taman Anggrek, pernah ke Citra Land, Sarinah, Ancol dan nonton di Bioskop. Saman menyebut beberapa nama tempat lainnya namun aku tidak mengingat semuanya – sepertinya akupun belum pernah kesana jadi tidak ingat J Dengan menempuh perjalanan selama 1,5 hari, Saman bersama 4 – 5 temannya tiba di Bintaro. Biasanya mereka menghabiskan waktu lebih dari 10 hari untuk mengeksplore Jakarta dan kembali lagi ke asal mereka. Dengan mengandalkan network dari orang-orang yang pernah berkunjung ke Baduy Dalam, Saman dan teman-teman memiliki kenalan yang siap menjadi rumah singgah bagi mereka selama berada di Jakarta. Selain itu, ada Kang Emmy, suku Baduy Luar yang rumahnya tak jauh dari terminal Ciboleger yang menurut Saman sangat baik dan suka menolong. Tiap kali akan ke Jakarta, Saman bisa meminjam handphone Kang Emmy untuk menghubungi kenalan baiknya di Jakarta dan mengabarkan akan kesana. Suku Baduy Dalam boleh menggunakan handphone (dan teknologi lainnya) hanya saja tidak boleh memiliki.

Ketika masuk ke mall dengan pakaian seperti ini (baju putih, bawahan hitam, ikat kepala) dan tanpa alas kaki, pastinya diliatin orang. Dianggap aneh kali, tapi kami cuek aja. Waktu nonton di bioskop, saya hampir keluar karena terasa aneh, suara-suaranya kencang sekali, dan gelap. Tapi lama-lama asyik juga. Waktu itu saya nonton film asing gitu deh, kata Saman sambil terkekeh. Dari percakapan tentang nonton film, Saman lanjut bertanya beberapa kata dalam Bahasa Inggris. Kalau “Thank you, you are the best” apa artinya? Ada beberapa pertanyaan lainnya dan dalam waktu singkat aku bisa menyimpulkan jika Saman memahami basic conversation Bahasa Inggris dengan sangat baik. Tahu bagaimana berkomunikasi misalnya menanyakan nama, tempat tinggal, asal negara, usia, angka/harga/tawar menawar. Oiya, Saman tahu berbahasa Indonesia sejak usia 15 tahun dengan belajar dari interaksi dengan orang-orang yang mengunjungi Baduy Dalam. Jika sekarang dia dapat berkomunikasi dalam Bahasa Inggris, hal ini sangat membanggakan. Dia pun mempelajari semuanya secara otodidak dan bergantung pada interaksi dengan para pengunjung. Lebih luar biasanya lagi Suku Baduy Dalam seperti Saman - melek huruf, dapat membaca dan menulis sekalipun tidak pernah bersekolah karena memang secara adat, bersekolah tidak diperbolehkan.

Saya ingin sekali bersekolah, pengen dan pengeeeennnn banget bersekolah. Saman mengekspresikan harapan besar dia untuk bisa bersekolah. Tetapi dari orang tua tidak boleh, tidak boleh bersekolah. Kami hanya belajar pertanian saja di ladang. Jadi saya belajar dengan tanya-tanya dari pengunjung yang kesini. Saya belajarnya dengan seperti ini, katanya girang. Saat itu aku berharap membawa sebuah buku yang bisa aku berikan ke Saman untuk mendorong dia terus belajar.


Obrolanku dengan Saman dan sesekali dengan temannya juga membuat aku lebih mengenal Suku Baduy Dalam. Beberapa stereotype yang dulu pernah ada di kepalaku tentang suku ini bahkan tidak ada satu pun yang terlintas ketika berada di tengah-tengah mereka bahkan baru menyadari hal tersebut pada saat menuliskan cerita ini. Ngobrol dengan mereka seperti ngobrol dengan teman lama dan bertukar informasi tentang lingkungan di kampung halaman masing-masing, tidak ada kesenjangan misalnya aku sebagai orang yang melek modernisasi sementara mereka tidak karena tidak mengadopsi budaya luar. Mereka orang yang easy going, tanpa beban dan terlihat sekali menikmati hidup.

Berbicara dengan alam

Kubiarkan diriku berjalan terus, rileks, menikmati semilir angin berhembus, menikmati suasana pegunungan, menikmati suara burung, suara dedaunan dan pepohonan serta gemericik aliran sungai, serta menyerap segala energi positif dari alam ini. Sudah lama tidak mendengar desis suara pepohonan ketika dedauan bergesek tertiup angin. Sudah lama tidak menikmati udara segar tanpa polusi. Sudah lama tidak menikmati gemericik air mengalir dengan tenang, tidak begitu deras, sehingga terdengar begitu syahdu. Menyatu dengan kicau burung dan rindangnya pepohonan yang menyajikan oksigen berlimpah begitu segar merasuk paru-paru. Indahnya ketika hanya mendengar suara alam. Tidak ada suara lain. Tidak juga kebisingan.
Pemandangan dari salah satu puncak bukit yang kami lewati
Aku berjalan pelan, menikmati suasana alam, menghirup udara sebanyak-banyaknya sembari menaikkan ucapan syukurku. Sesungguhnya alam menyediakan yang terbaik untuk umat manusia. Semua yang terbaik dan lagipula, pada hakekatnya gratis.


Berjalan di tempat rindang dan dekat dengan aliran sungai menandakan bahwa perjalanan sedang berada di lembah, turunan segera berakhir untuk menuju pendakian berikutnya. Ini saatnya membuat badan rileks, menghirup udara sebanyak-banyaknya, menikmati suasana alam, memastikan baterai yang terpasang somewhere in my body terisi penuh sehingga siap menuju tanjakan lagi.


Memasuki Baduy Dalam

Aku tidak begitu memperhatikan jam tanganku dan tidak begitu memperhatikan seberapa jauh kami telah berjalan. Yang pasti matahari tak lagi begitu terik dan kami tiba di sebuah jembatan tepatnya jembatan gantung terakhir untuk menuju ke Baduy Dalam. Kami telah melewati setidaknya 2 atau 3 jembatan gantung yang cukup panjang sebelumnya. Jembatan gantung kali ini sekalipun bukan yang terpanjang dibanding jembatan sebelumnya, namun terlihat begitu shaky ketika dilalui sehingga rombongan trip harus antri melaluinya. Berpikir out of the box, aku tidak ingin berdiri berlama-lama untuk antri, apalagi harus shaky diatas jembatan. Lebih menarik rasanya menikmati segarnya air pengunungan ditelapak kakiku dan merasakan dinginnya membasuh wajahku. Tanpa berpikir ulang, aku melepaskan sepatuku, memasukkan dalam tas ransel dan menikmati aliran sungai yang begitu jernih. Tidak ada sampah baik yang organik ataupun anorganik. Wah benar-benar pit stop yang asyik.
Begitu melewati jembatan ini, sebut saja jembatan cinta, maka kami officially berada di daerah Baduy Dalam. Dengan demikian aktifitas berfoto ataupun menggunakan handphone tidak lagi diperbolehkan. Para Baduy Dalam kembali menegaskan bahwa kita sudah memasuki Baduy Dalam dan tidak boleh lagi foto-foto. Berpikir untuk all out dalam trekking kali ini, aku tidak mengenakan sepatu-ku kembali. Ingin merasakan menjadi orang Baduy, walau hanya sebentar saja, hanya berjalan kaki beberapa KM lagi, tanpa alas kaki J.

Shaky Bamboo Bridge yang memisahkan Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Aku memutuskan untuk menyeberang di dasar sungai menikmati dingin, segar dan beningnya air pegunungan.
Selepas dari - sebut saja - Jembatan Cinta, tanjakan Cinta menanti kami. Iya, namanya benar-benar Tanjakan Cinta karena orang Baduy sendiri yang memberitahukannya kepada kami. Entah kenapa dan entah siapa yang memberikan nama tersebut. Namun yang pasti, tanjakannya memang mungkin bisa jadi membuat benih cinta bersemi saking terjalnya. Bersama sesama pengunjung kami bertukar pemikiran-pemikiran konyol dan candaan ada apa di balik nama Tanjakan Cinta tersebut. Tak terasa tanjakan tersebut berhasil kami taklukkan tentu saja dengan pause sejenak ditengah-tengah tanjakan merasakan denyut jantung yang rasa-rasanya mau copot.


Walau masih cukup jauh, aku konsisten dengan sikapku untuk walk out (baca: all out) tanpa alas kaki. Kami melewati lumbung-lumbung padi yang menandakan bahwa perkampungan tak lagi begitu jauh. Medan yang mulai menurun dan sedikit mendatar menjadikannya dengan cepat dan enteng untuk bisa kami lalui. Begitu menuruni lembah dengan jalan setapak berbatu-batu semakin menegaskan bahwa perkampungan yang kami tuju tidak jauh lagi. Benar saja, sesaat kemudian atap rumah penduduk mulai nampak dan semakin kami turun terlihat beberapa teman sudah tiba disana. Kami menyeberangi sungai kecil dengan jembatan bambu dan tibalah kami di halaman rumah. Aku melirik jam tanganku, Pkl. 17.30. Wah, di etape kali ini termasuk golongan yang cepat nyampe juga, yakni 4 jam perjalanan J


The most comfortable and relaxing bath-up ever

Setelah menemui Tuan Rumah tempat kami akan menginap, tanpa membuang waktu lama karena malam segera menyapa, tidak ada listrik dan lagipula aku tidak membawa senter, kami segera menuju sungai untuk bersih-bersih. Di Baduy Dalam segala jenis sabun-sabunan, pasta gigi, dll tidak diperbolehkan. Local wisdom yang baik karena ini semua dapat merusak air sungai dan menjadi sumber sampah – bungkus sabun, dll. Sebagai gantinya, orang Baduy memiliki daun khusus yang digunakan untuk mencuci baju. Jadilah akupun tidak memakai sabun, shampo maupun pasta gigi. Hanya sikatan saja tanpa pasta gigi. Area sungai di pemukiman sudah dibagi menjadi beberapa bagian untuk tempat mandi cowok, cewek, tempat mencuci, mengambil air untuk minum dan tempat untuk BAB.

Foto salah satu aliran sungai, diambil di wilayah Baduy  Luar (pengambilan gambar dan penggunakaan alat elektronik tidak diperbolehkan di wilayah Baduy Dalam)
Melihat air sungai yang begitu jernih dan alami sepanjang perjalanan tadi membuatku tidak ingin melewatkan untuk merasakan mandi di sungai. Yippiee... Once in a lifetime. Inilah pertama kalinya aku mandi di sungai yang benar-benar bisa masuk ke Sungai karena airnya jernih dan berendam didalamnya. Setelah puas membersihkan badan, rambut dan gigi, aku menjadikan batu bantalku lalu berbaring di dasar sungai dan merasakan aliran air di sekucur tubuhku yang begitu segar menenangkan. Semua rasa capek, panas dan keringat selama perjalanan 4 jam trekking tadi sirna dan hanya ada kesegaran. Bebatuan kecil di dasar sungai seperti massage electric yang tahu bagian-bagian mana yang perlu dipijat agar otot-otot kembali rileks. Terlihat beberapa rombongan trip di pinggiran sungai mencuci muka dan sikatan dan berkomentar betapa asyiknya bisa mandi dan tiduran seperti di bath-up seperti yang kulakukan.

Ah betapa indah dan nyamannya berada disini sehingga rasanya tidak ingin beranjak dari sana. Sekalipun malam telah menjelang namun suasana yang segar – tidak terlalu dingin sehingga tidak membuatmu menggigil – terasa sangat perfecto, temperatur yang sangat pas sehingga walaupun berendam dalam air yang dingin yang terasa hanya kesegaran. Aliran air yang segar tepat dibawah pepohonan, suasana hati dan pikiran yang riang dan rileks. Benar-benar heaven on earth. Tuhan menyediakan yang terbaik, gratis, tis dan orang Baduy menikmatinya seumur hidup mereka. Kehidupan semacam ini yang sudah lama ditinggalkan oleh kaum hedonis. Ah bahkan tidak perlu terlintas akan pemikiran tentang kaum hedonis itu, cukup menikmati apa yang disediakan alam saja, saat ini ketika aku bisa menikmatinya.

Aku membalikkan badanku dan menikmati aliran air sungai tepat diatas punggungku. Membiarkan rambutku terurai dan seolah – olah terbawa oleh aliran sungai. Hidup ini terasa begitu ringan. Sesekali aku mendongakkan kepalaku memastikan bahwa masih banyak orang di sungai sehingga bisa menikmati alirannya lebih lama lagi. Ketika satu per satu orang kembali ke rumah dan hari semakin gelap, aku mulai beranjak, melepaskan sarung pantai yang aku gunakan dan menggantinya dengan baju tidur. Inilah kegiatan mandi dan relaxing yang paling berkesan dan paling nyaman menyegarkan. Belum pernah mendapatkan pelayanan semacam ini di salon manapun J

The precious local wisdoms

Tinggal di rumah penduduk merupakan pengalaman yang sangat berharga. Tuan rumah kami bernama Bapak Aldi, dia memiliki 5 orang anak, sebagian di ladang bersama neneknya dan ada 2 orang yang masih kecil tinggal bersama dengan dia dan istrinya. Bapak Aldi cukup komunikatif terlihat sekali jika sudah sering berinteraksi dengan orang luar namun demikian istrinya sangat pendiam. Sepertinya bukan hanya istrinya saja namun rata-rata wanita Baduy yang aku jumpai. Mungkin karena wanita jarang bersinggungan dengan orang luar dalam waktu yang lama misalnya dengan menemani berjalan kaki dari Ciboleger hingga Baduy Dalam sehingga tidak memiliki banyak kesempatan untuk bisa belajar bahasa Indonesia. Sekilas yang nampak adalah kendala bahasa sehingga tampak sangat pendiam dan menarik diri.

Walau hanya 2 hari bersama para Baduy Dalam, namun banyak kearifan lokal yang aku pelajari. Dari dapur keluarga, perkampungan hingga ke lahan pertanian. Kehidupan orang Baduy Dalam yang konsisten hidup hanya dengan sesama dan alam, mengajariku banyak hal. Di mataku mereka merupakan sebuah suku yang berpikiran maju namun tidak mengubah gaya hidup mereka. Tetap seperti sedia kala bersahabat dengan alam dan sesama. Mereka sangat bergantung kepada alam dan oleh karena itu menjaganya sedemikan rupa.

Beberapa hal yang mengesankan buatku adalah hubungan yang erat dalam sebuah keluarga. Ibu bertanggung jawab sepenuhnya akan urusan di dapur sementara ayah bertanggung jawab mencari penghidupan keluarga. Sama seperti keluarga pada umumnya. Selain itu, keluarga Baduy Dalam memiliki waktu yang khusus bersama keluarga pada saat makan. Ayah, Ibu dan anak-anak akan duduk dan berkumpul bersama-sama untuk menikmati makan. Mereka mengenal hal ini dengan istilah “riung.” Betapa berharganya menghabiskan waktu bersama keluarga di saat makan bersama alias nge-riung. Anak-anak menantikan saat nge-riung begitu juga orang tua, ayah dan ibu, tidak melewatkan moment nge-riung bersama seluruh anggota keluarga.

Interior rumah Baduy Dalam hanya terdiri dari 2 ruangan. Satu ruangan yang merupakan ¼ bagian dari rumah difungsikan sebagai dapur sekaligus tempat tidur utama. Satu ruangan lagi yang merupakan ¾ bagian ruangan lainnya digunakan sebagai ruangan serbaguna, sebagai ruang tamu, ruang keluarga, dll. Apabila salah satu anak telah menikah dan tinggal bersama orang tua maka akan dibuatkan sebuah dapur lagi dalam rumah tersebut. Sehingga 1 rumah bisa memiliki 2 dapur. Dapur orang tua terpisah dari dapur anak. Hal yang sangat mengesankan mengingat dapur merupakan salah satu sumber konflik dalam suatu keluarga. Apalagi dalam kondisi sudah mentas, anak belajar mandiri dan memiliki kehidupannya sendiri.

Suku Baduy Dalam tidak memiliki pantangan makan kecuali daging kambing. Tidak ada alasan yang begitu jelas yang bisa kudapatkan mengapa mereka tidak boleh makan kambing. Yang jelas pantangan makan daging kambing merupakan warisan dari nenek moyang yang terus mereka jaga. Sehari-hari mereka mengkonsumsi nasi, sayuran dan lauk seperti ikan asin yang biasanya dibeli di pasar. Dalam setahun, para Baduy Dalam akan ditutup selama 3 bulan karena para pria Baduy berburu  ke hutan. Selama 3 bulan tersebut mereka akan berburu babi hutan yang biasanya digunakan untuk pesta adat.  Selama periode inilah, Baduy Dalam ditutup untuk kunjungan dari pihak luar seperti para wisatawan.
Rumah Baduy Dalam tidak jauh berbeda dengan Baduy Luar

Di luar rumah, lingkungan perkampungan Baduy Dalam tergolong sangat bersih. Tidak ada sampah yang berserakan di sekitar pemukiman. Well, ada sih sedikit di belakang kampung yang menurutku sampah-sampah plastik para pengunjung seperti kami-kami yang membawa bekal-bekal makanan kemasan (bungkus snack, makanan, dll). Tong sampah terbuat dari anyaman tradisional terletak di depan rumah sehingga tidak ada yang berserakan. Aktifitas MCK semua dilakukan di sungai termasuk mencuci peralatan dapur sehingga kondisi rumah sangat bersih dan higienis, tidak lembab, tidak bau, bahkan tidak ada lalat ataupun nyamuk.

Beranjak dari perkampungan Baduy ke lahan pertanian, pertanian Baduy Dalam tergolong cukup maju. Mereka menanam padi gogos di lahan yang memang hanya memungkinkan mereka untuk menanam padi di lahan kering. Selain itu, mereka menanam kacang-kacangan, jagung, sayuran dan pisang. Persediaan makanan Baduy disimpan dalam jejeran lumbung-lumbung yang terletak di luar perkampungan dan tak jauh dari ladang. Hal ini memperlihatkan manajemen persediaan makanan sekaligus ketahanan pangan yang dianut oleh orang Baduy.

Lahan pertanian yang sedang digarap
Di awal perjalanan ketika menuju perkampungan Baduy Luar dari terminal Ciboleger, terlihat beberapa bagian bukit yang digunduli untuk bercocok tanam. Pada awalnya aku sempat bergumam dalam hati, ini merusak alam dan membahayakan diri mereka sendiri. Jika 5 atau 6 tahun aku kesini lagi kemungkinan besar sudah tidak dapat melalui rute ini karena pasti sudah longsor. Tetapi semakin jauh berjalan maka yang terlihat hanyalah bukit dan bukit dan bukit. Tidak ada lembah yang cukup luas dan landai untuk bercocok tanam. Sungai-sungai diapit oleh dua pebukitan di sisi kiri dan kanannya. Suku Baduy baik Baduy Dalam dan Baduy Luar tidak memiliki sawah. Ya tidak ada sawah disana yang ada adalah huma/ladang untuk bertanam padi gogos. Aku tidak tahu teknik bertani seperti apa yang bisa diterapkan di area dengan topografi yang hilly semacam ini. Dan apabila mereka sudah bercocok tanam seperti ini sejak mereka ada maka rasanya mustahil juga jika tidak ada longsor. Namun menurut pengakuan salah satu Baduy Dalam, tidak terjadi longsor di daerah mereka. Hm, perlu ditelisik lebih jauh.

Kearifan lokal Baduy lainnya yang membuatku sangat terkesan adalah One men for one woman, vice versa and no divorce. Baduy Dalam tidak menganut poligami ataupun poliandri. Seorang laki-laki hanya boleh menikahi seorang wanita, begitu juga sebaliknya. Selain itu, perceraian tidak diperbolehkan kecuali karena kematian. Wah, seperti ajaran JC ya J
Lumbung-lumbung yang senantiasa terisi penuh

Para Baduy Dalam di mataku adalah suku yang sangat cerdas baik anak-anak ataupun orang tua mereka. Mereka bisa membaca dan menulis hanya dengan belajar otodidak. Pikiran mereka terbuka untuk maju bahkan kehidupan mereka sangat maju dan bersahabat dengan alam. Anak-anak mereka yang berusia balita dan batita pun terlihat sehat, tidak kurus ataupun kelihatan kurang gizi. Oiya, para Baduy berkulit putih bersih terutama anak-anak. Bahkan ada yang benar-benar seperti bule, rambut pirang dan kulit pink merona. Sumber makanan mereka terjaga dan sistem ketahanan pangan mereka mumpuni dengan jejeran lumbung-lumbung yang terisi penuh. Selain itu, suku Baduy juga merupakan salah satu penghasil madu hutan dengan kualitas yang terbaik.

My Wish

Harapanku agar suku ini tetap bertahan dalam keaslian mereka tanpa mengadopsi budaya lain. Terus mempertahankan kearifan lokal mereka yang menurut pendapatku kearifan lokal yang murni dan pantas untuk terus dipertahankan kemurniannya. Kekuatiranku dengan semakin banyaknya wisatawan yang mengunjungi para Baduy setiap minggunya adalah mereka semakin mengenal dan mulai mencintai uang. Mereka semakin mengetahui bahwa mereka bisa mendapatkan apa saja dengan uang lalu mulai mengkomersialkan segala sesuatu dan perlahan tapi pasti meninggalkan budaya asli mereka. Aku kuatir budaya hedonis dan matrealistis perlahan mulai mengkontaminasi kehidupan para Baduy. Semoga saja tidak.

Closing 

Waktu dua hari tidak akan cukup untuk mengulik banyak tentang Suku Baduy Dalam, tapi aku merasa sangat beruntung bisa mengunjungi, berinteraksi dan berada ditengah-tengah suku yang sangat berharga ini sekalipun hanya 2 hari. Kesimpulan akhirku, Baduy Dalam bukanlah suku terasing, bukan pula suku yang kolot atau ketinggalan jaman, mereka adalah kelompok suku sama seperti halnya suku-suku lain di Indonesia seperti Jawa, Sunda, Menado, Toraja, Batak, dll (yang ga disebut jangan marah :). Tidak ada ritual khusus yang begitu mengikat dan harus mereka lakukan setiap harinya. Mereka terbuka terhadap orang luar dan sangat bersahaja. Di setiap perkampungan terdapat kepala suku dan juga lurah dan kepala RT. Mereka sama seperti kita setiap hari bangun pagi dan mengusahakan kehidupan mereka mencari nafkah. Ke ladang pada hari kerja dan sebagai guide lokal/tuan rumah dan menyewakan rumah mereka untuk home stay pengunjung pada akhir pekan. Mereka mengetahui dunia luar hanya saja tetap kuat terhadap prinsip dan pendirian mereka untuk memiliki gaya hidup turun temurun seperti nenek moyang mereka, Adam dan Hawa.